Roem Topatimasang adalah momok. Tapi saya bersyukur pernah membaca bukunya.
Buku yang dimaksud adalah Sekolah Itu Candu, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, entah tahun berapa. Pak Roemlah pengarangnya. Pak Roem akhir-akhir ini tidak terdengar sepak terjangnya, tapi saya yakin dia masih tetap bergerak di sana-sini mendidik masyarakat.
Pernah saya baca wawancara Puthut EA dengan Pak Roem, yang bercerita tentang refleksi terbaru gerakan sosial Pak Roem (Itu Baru Cikal Bakal Gerakan Sosial). Wawancara itu dimuat blognya Puthut. Tulisan terakhir yang saya baca dari tulisannya adalah tentang remaja (Judulnya Menjadi Diri Sendiri). Terakhir saya temui dia ketika ikut workshop fotografi yang diadakan oleh Komunitas Kampung Halaman.
Dan Sekolah Itu Candu saya baca dahulu, ketika saya masih sekolah di Madrasah Aliyah Keagamaan di Guluk-guluk, Sunenep. Buku itu mengguncang jiwa saya yang saat itu masih labil, mudah goyah dan tidak mapan. Sekolah, yang saya datangi setiap pagi hingga siang, dibabat habis dalam buku itu.
Saya berpikir, jika inti sekolah adalah belajar, dan saya bisa belajar dari manapun, untuk apa saya tiap hari datang ke sekolah? Nyatanya, yang saya lakukan di kelas seringkali bukanlah belajar, melainkan mencatat hal-hal yang kadang tidak saya pahami, mendengar ocehan yang juga kadang tidak saya pahami, malah kadang tidur.
Di tempat lain, saya bisa membaca buku dengan tenang. Waktu itu, saya membaca beberapa buku yang memang menggugah: Pemikiran Karl Marx-nya Frans Magnis Suseno, Teologi Inklusif Cak Nur-nya Sukidi, Islam Doktrin dan Peradaban-nya Cak Nur, Menjadi Manusia Pembelajar-nya Andriad Harefa, Prisma Pemikiran Gus Dur, Islam Aktual-nya Kang Jalal, Idzah an-Nâsyi’în-nya Mustafa al-Ghalayini, Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib, Membakar Rumah Tuhan-nya Ulil Abshar-Abdalla, juga beberapa lagi. Semua itu saya baca dengan riang gembira.
Nah, bila semua itu bisa kupelajari di luar sekolah, buat apa pula masih sekolah?
Lalu terjadilah apa yang terjadi. Saya mutung dari sekolah, tidak masuk selama seminggu. Membaca apa saja yang ingin dibaca. Juga merenung. Namun, sebetulnya yang paling sering adalah tidur.
Tidak saya ceritakan kepada siapapun saat itu apa sebetulnya yang ada di hati saya. Saya menjalani hidup sebagaimana hari-hari biasa, kecuali sekolah.
Hingga suatu hari, perenungan itu mencapai pada satu titik: ini tidak benar. Biar bagaimanapun saya harus tetap sekolah. Sekolah adalah jam khusus yang disediakan agar saya belajar. Apa saya bisa menjamin bahwa jika saya tidak sekolah, 5 jam dalam sehari (dari 07.30 hingga 12.30) akan saya gunakan buat belajar? Tidak bisa saya jamin! Paling-paling saya akan habiskan buat main-main, keluyuran, atau malah tidur tidak jelas. Tidak, tidak … saya harus sekolah!
Besoknya, saya berangkat ke sekolah dengan kesadaran baru tentang apa itu sekolah dan belajar. Saya jadi sadar bahwa seminggu sebelumnya saya dikuasai kesombongan yang tidak patut, dan kini saya harus memandang sekolah dengan sudut pandang yang lebih humble. Kesadaran itu, beberapa tahun kemudian, saya anggap lahir dari sebuah pengalaman spiritual dengan sebuah buku: Sekolah Itu Candu.
Memang ada banyak hal yang harus diperbaiki dengan sekolah-sekolah kita. Masih ada banyak lobang yang harus ditambal. Namun, kita tidak bisa mungkir bahwa masih ada harapan dari sekolah, bukan?
Semakin saya ingat-ingat pengalaman itu, semakin saya bersyukur sudah membaca buku Pak Roem. Tuhan telah mengantarkan saya pada kesadaran itu berkat bukunya Pak Roem. Memang agak konyol, tapi tidak saya sesali sedikitpun proses sebentar dan sederhana tapi berakibat panjang itu.
Nah, teman sekalian mungkin punya pengalaman unik dengan sebuah buku, sebuah pengalaman yang kemudian punya dampak panjang dalam hidup? Mari bercerita![]
Leave a comment