Sebuah koran lokal memuat berita yang mengundang rasa penasaran, menggelitik, dan cenderung bombastis. Judul yang tertera di situ terpampang mencolok: “Ada 9.259 Janda Baru di Malang Raya.”
Yang terbayang dalam benak adalah: perceraian di Malang amat tingginya. Tapi, yang tak disadari oleh pikiran adalah kenapa hanya “janda” yang jadi topik judulnya? Kemana para duda itu kok hilang (dihilangkan) dari pembicaraan?
Sejurus kemudian, saya jadi teringat kepada pentingnya kesadaran gender. Ketidaksetaraan gender di masyarakat kita memiliki celah yang terbilang banyak, ada beberapa mekanisme kultural yang berusaha, baik sengaja maupun tidak, melanggengkan keadaan tersebut. Dan patut diakui, berita-berita dengan judul dan frame demikian sebetulnya menyumbang pelanggengan tersebut.
Media adalah ranah publik dan, oleh karena itu, kepekaannya terhadap isu gender sangat diperlukan agar tidak menjadi bagian pelanggengan ketidaksetaraan di atas. Jurnalisme harus sensitif gender!
Dalam kasus di atas, terlihat adanya kecerobohan si jurnalis dalam membuat judul yang tidak mempertimbangkan sisi sensitivitas gender. Judul itu problematis sebab (1) ia hanya mencantumkan “janda” dan menyembunyikan kenyataan yang sama pada “duda”, (2) ia memosisikan perempuan (janda) sebagai objek pembicaraan dan lelaki (duda dan pembaca pada umumnya) sebagai pembicara, dan (3) ia mensubordinasi perempuan sebagai pusat masalah perceraian (banyaknya angka janda), padahal problem sebetulnya adalah banyaknya angka perceraian yang niscaya melibatkan lelaki dan perempuan.
Judul semacam itu menjadi makin runyam sebab ia melanjutkan stereotype yang ditanggung perempuan: perempuanlah biang keladi setiap persoalan yang dialami perempuan. Contoh yang paling umum: perkosaan adalah karena pakaian korban tak senonoh. Dengan cara yang serupa, judul di atas rupanya memuluskan anggapan bahwa persoalan tingginya angka perceraian adalah persoalan tingginya angka janda, bukan persoalan relasi lelaki-perempuan yang rawan.
Jika ditanya, kenapa judul yang tidak sensitif gender semacam itu bisa lolos keredaksian, saya tak punya pikiran lain selain karena media mengejar profit. Media semacam ini rela menabrak etika jurnalistik demi mengejar profit perusahaan. Caranya adalah dengan judul bombastis yang tanpa solusi, penggalian data yang dangkal dan ilustrasi gambar yang mengundang ketertarikan.
Hal ini terbukti kok. Coba saja Anda cari di mesin pencari kata kunci serupa, misal “angka janda baru di malang”, rupanya banyak media yang mengangkat judul seperti itu.
Nah, ternyata persoalan semacam ini pun masih tidak rampung di media massa kita. Dibutuhkan pembaca yang peka menghadapi berita-berita tak taat etika semacam ini.
Nah, untuk membekali diri dari berita-berita yang tidak sensitif gender semacam itu, saya anjurkan baca buku Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender (Yogyakarta: PMII Komisariat IAIN Yogyakarta, 1998). Buku ini bermanfaat sekali dalam menambah wawasan gender di bidang tulis-menulis. Apalagi kita adalah blogger, rasanya penting juga mengangkat tema yang sensitif gender, yakni membuat tulisan yang menempatkan posisi lelaki-perempuan secara adil.[]
Leave a comment